Buku yang ditulis oleh Meutya Hafid ini mengisahkan dengan detail kronologis musibah tersebut. Dengan memakai sudut pandang orang pertama, pembaca akan serasa diajak ke gurun pasir, gua penyekapan, sampai akhirnya tiba dengan selamat di perbatasan Irak-Yordania. Meutya rupanya cukup pandai mengatur alur. Tak melulu linear, kadang ia juga melakukan flashback. Beberapa intermezzo mengenai kehidupan pribadinya juga menjadi bumbu untuk sedikit mengalihkan ketegangan.
Pelajaran yang bisa aku ambil dari buku ini adalah iman. Ya, ditengah todongan senjata dan maut yang sewaktu-waktu menjemput, kalau kita tidak punya iman yang kuat tentu saja kita depresi. Meutya dan Budi lain, mereka malah mencandai maut. Mereka sangat percaya dengan takdir. Kalau belum saatnya, maut tidak akan menjemput. Dan inilah yang mereka pegang teguh. Modal mereka di Irak bukanlah topi atau rompi antipeluru. Dengan mantap mereka hanya berkata, "bismillah."
168 Jam dalam Sandera
0 komentar:
Posting Komentar